08 February 2008

Emotional experience dalam Web

Dalam liburan panjang kali ini (meskipun akhirnya dibatalkan pemerintah), saya berkesempatan melakukan hal-hal yang mustahil saya lakukan kalau tidak libur: menonton acara-acara variety show di TV. Macam-macam yang saya tonton, dari kuis sampai idol-idol-an, tapi semuanya mengusung satu hal yang sama: mereka mengeksploitasi pengalaman emosional (emotional experience) dari pemirsa. Eksploitasi inilah yang pada akhirnya membuat penonton dengan sukarela mengirimkan ribuan sms dukungan, yang pada akhirnya situasi ini dibidik secara jeli untuk dibisniskan.

Well, saya tidak berpikir tentang aspek bisnisnya, tapi tentang kemungkinan mengeksploitasi pengalaman emosional dalam dunia virtual, melalui Web. Menurut pengamatan saya, TV-TV tersebut sukses karena beberapa hal: 1) teknologi komunikasi yang sudah maju dan murah, 2) klasifikasi kontestan menuruti sentimen pemirsa (misalnya, kriteria asal daerah, profesi, jenis kelamin, dsb), 3) ajakan bagi pemirsa untuk terlibat dalam jalannya acara, yang sebenarnya adalah proses rekayasa untuk mematangkan dan akhirnya meledakkan emosi pemirsa, dan 4) kemasan acara itu sendiri, yang merupakan wadah bagi pemirsa untuk menyalurkan emosinya (melalui sms atau telepon).

TV sudah membuktikan keberhasilannya sebagai media untuk eksploitasi pengalaman emosional pemirsanya. Bagaimana dengan Web ?

Faktor pertama menurut saya sudah terpenuhi, meskipun untuk Indonesia jelas jangkauannya belum seluas televisi. Jadi economy of scale-nya masih perlu diuji. Faktor kedua juga bisa dijalankan di Web. Ini tidak ada kaitannya dengan media, tapi tergantung kreativitas show designer-nya. Semakin tajam klasifikasinya (artinya, semakin ia mampu menarik keberpihakan pemirsa), semakin besar peluang untuk membangkitkan emosi pemirsa.

Faktor ketiga juga sama, bahkan Web punya peluang yang lebih besar dibandingkan TV karena interaksi pemakainya yang lebih kaya. Web memungkinkan terjadinya interaksi yang bersifat massal, dan pada saat yang sama melakukan personalisasi untuk setiap sesi interaksi. Contoh yang jelas adalah Amazon: bagaimana Amazon bisa berjualan dengan volume yang sangat masif, tetapi masih bisa memberikan layanan personal bagi tiap pelanggannya. Saya pikir Web menyediakan banyak kesempatan dan peluang untuk mengkesplorasi kekayaan interaksi ini.

Yang terakhir, faktor keempat juga memungkinkan dijalankan di Web. Sekarang ini bertaburan layanan-layanan Web yang bisa dianalogikan sebagai acara TV. Layanan-layanan ini punya tema/fokus spesifik, menjaring sebanyak mungkin pemakai, memfasilitasi interaksi antar pemakai, dan memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai baru dari interaksi tersebut. Orang sering menyebutnya sebagai social networking. Contohnya, layanan LinkedIn, Friendster, Facebook, layanan-layanan dating online, dsb.

Jadi, kalau mau membuat semacam American Idol di Web, tantangan yang harus dihadapi adalah mencari topik yang menarik, merancang pola-pola klasifikasi untuk menarik sentimen pengguna, merancang model interaksi bagi pengguna, dan mewadahi itu semua dalam sebuah kemasan layanan yang menarik. Mungkin yang belum bisa populer di Indonesia adalah membuat acara live melalui Web. Teknologi webcasting secara real-time memang sudah ada, tapi pemanfaatannya masih akan terkendala di Indonesia, karena keterbatasan bandwidth. Padahal sense dan thrill dari acara live itulah yang sering diandalkan untuk membangkitkan emosi pemirsa.

Web 2.0 telah datang, mindset para pemakai sudah siap. Tinggal membuat wadahnya saja. Tantangan bagi orang-orang yang memiliki kreativitas...

No comments: