20 December 2008

Korea vs Indonesia

Beberapa waktu y.l. saya berkesempatan berkunjung ke Korsel, tepatnya di Seoul, untuk melihat perkembangan industri TI di negara tersebut dan rencana mereka kedepan. Memang sungguh menakjubkan kemajuan yang telah dibuat. Saya dibawa ke sebuah gallery yang berisi berbagai demo yang menggambarkan impian tatanan masyarakat Korea pada masa depan, yang sarat dengan implementasi TI. Konsep "always on, always connected" betul-betul terasa, menciptakan tatanan yang mereka sebut dengan ubiquituous society (u-society). Banyak sekali layanan berbasis TI yang bisa diakses di manapun, kapanpun, dengan berbagai moda, terutama piranti mobile. Video call, video conference, bahkan siaran TV digitalpun sudah bisa dilakukan melalui smartphone atau PDA.

Semua itu bisa terjadi karena infrastruktur TI di Korea sudah siap. Korea termasuk negara dengan tingkat penetrasi TI tertinggi di dunia, karena didukung oleh industri perangkat keras yang sangat maju. Korea merajai dunia di bidang LCD monitor, perangkat handset mobile, dan chip memori. Kondisi geografis negara itu juga memungkinkan penggelaran backbone Internet berkecepatan tinggi secara mudah. Hasilnya, komunikasi berbasis multimedia bisa dilakukan dengan lancar oleh segenap elemen masyarakat. Di sisi lain, pendapatan per kapita mereka juga cukup tinggi untuk mendukung daya beli terhadap produk dan layanan TI. Secara sosiokultural masyarakat Korsel tidak asing lagi dengan nuansa high-tech TI dalam kesehariannya, sehingga pada saat mereka meluncurkan berbagai layanan berbasis multimedia, semua komponen pendukungnya sudah siap: baik infrastruktur jaringan, perangkat akses, ketersediaan dan kualitas koneksi, sampai ke daya beli dan kultur masyarakatnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Bisakah kita menuju ke state yang sama dengan Korea? Jujur saja, kita tidak tahu. Mungkin bisa, mungkin juga tidak, tetapi bahwa untuk mencapai status negara yang maju di bidang TI, jelas ini sangat dimungkinkan. Korea mencapai kondisinya saat ini berangkat dari aspek industri perangkat keras yang maju. Jadi polanya, perangkat keras dan infrastruktur menjadi strategic driver untuk menuju kemajuan negara dan masyarakat. Indonesia jelas tidak punya strategic driver berupa infrastruktur atau industri perangkat keras, tetapi kita bisa menggali alternatif lain yang bisa kita kembangkan.

Salah satu kemungkinan adalah creative contents. Kita tidak berangkat dari infrastruktur, tetapi dari contents yang dibuat, dikelola, dijalankan, dan didistribusikan di atas infrastruktur tersebut. Infrastruktur dianggap faktor yang taken for granted. Tinggal sediakan uang saja, lalu beli dan deploy. Selanjutnya usaha bisa difokuskan ke level software, aplikasi, layanan, dan informasi dalam berbagai bentuknya (musik, video, animasi, game, komik, dan berbagai representasi budaya digital lainnya). Animator dari Indonesia sudah terbukti kemampuannya, demikian pula gamers kita). Mengapa kita tidak dorong potensi di bidang ini? Nampaknya di masa depan fokus TI akan lebih berada pada aplikasi, layanan, dan contents. Penguatan di bidang ini (termasuk pengembangan industrinya) bisa menjadi awal proses bootstrap bagi penguatan di bidang infrastruktur dan pematangan masyarakat menuju ke e-society.

Seberapa besar peluang kita dalam bidang contents? Menurut saya cukup besar. Contents adalah produk intelektual. Modal dasarnya adalah kreativitas. Tidak perlu biaya besar untuk membuat contents yang menarik, bermutu, dan bermanfaat. Untuk pengembangan industri misalnya, barrier to entry-nya tidak tinggi. Produk-produk animasi Indonesia ternyata muncul dari perusahaan-perusahaan kecil. Hanya diperlukan manusia-manusia kreatif, pengetahuan tentang kebutuhan pasar, dan channels untuk mengakses para pembeli, terutama di lingkup internasional. Kita tidak khawatir dengan faktor pertama, banyak stok yang kita miliki. Untuk faktor kedua dan ketiga, rasanya juga tidak sulit. Pemerintah bisa memfasilitasi kebutuhan ini. Permasalahannya adalah, siapkah pemerintah kita?