12 January 2008

Wikinomics di Perguruan Tinggi

Dalam perjalanan ke Medan minggu lalu saya membeli buku Wikinomics karangan Don Tapscott dan Anthony Williams. Buku ini menjelaskan tentang munculnya tatanan ekonomi baru yang sangat diwarnai oleh partisipasi dan kolaborasi. Sangat menginspirasi, mirip dengan bukunya Thomas Friedman, The World is Flat.

Tapscott dan Williams menjelaskan bahwa saat ini adalah eranya partisipasi dan kolaborasi, bahkan dalam dunia bisnis. Tidak ada satupun perusahaan di dunia ini yang mampu memberikan excellence tanpa dukungan dari pihak-pihak lain. Terbentuk sebuah jaringan nilai (networks of values) yang sangat kompleks yang dicirikan dengan keterbukaan, peering, saling berbagi (sharing), dan tindakan-tindakan global (acting globally). Dalam jaringan-jaringan ini terjadi aliran-aliran informasi yang secara sinergis meningkatkan nilai dari apa yang hendak dibangun. Gerakan Open Source, Wikipedia, MySpace, dan Flickr adalah contoh-contoh dari model baru tentang kolaborasi global yang membentuk wajah dunia saat ini melalui produk-produk fenomenalnya. Tapscott dan Williams menyebut model baru ini sebagai Wikinomics.

Prinsip dasar Wikinomics adalah kualitas resource yang tersedia di luar lingkup organisasi kita selalu lebih baik daripada yang tersedia secara internal, sehingga wajarlah jika muncul pemikiran untuk memanfaatkan resource eksternal tersebut untuk mendukung proses-proses internal. Apalagi teknologi informasi (TI) memungkinkan kita untuk merealisasikan pemikiran tersebut. Ditambah lagi dengan semangat sharing dan kolaborasi yang sekarang tumbuh, kuncinya hanyalah pada bagaimana "menarik" resources eksternal tadi untuk mau masuk. Kasus Goldcorp Challenge pada tahun 2000 menjadi contoh yang menarik: bagaimana perusahaan pertambangan Goldcorp mau membuka data-data eksplorasi mereka kepada umum untuk menarik minat pihak-pihak lain untuk ikut menemukan ladang tambang baru. Data-data pertambangan yang biasanya sangat dijaga kerahasiaannya justru dibuka kepada publik untuk dimanfaatkan guna mendapatkan nilai yang jauh lebih besar. Hasilnya ? Hanya dalam hitungan minggu, banyak sekali proposal yang masuk. Hadiah total sejumlah US$ 575000 bagi pemenang kontes menjadi tidak ada artinya dengan hasil yang diperoleh. Hari ini, perusahaan yang semula nilainya hanya sekitar US$ 100 juta berubah menjadi perusahaan yang bernilai US$ 9 miliar.

Ide yang radikal tapi penuh perhitungan pada akhirnya membuahkan hasil yang manis.

Mungkinkah kira-kira Wikinomics diterapkan di dunia pendidikan, khususnya untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan tinggi ? Menyediakan layanan pendidikan tinggi yang berkualitas memang sejak lama menjadi masalah bagi banyak institusi pendidikan di Indonesia. Ketidakmampuan menyediakan kurikulum, materi pembelajaran, dan dosen yang bermutu membuat output perguruan tinggi kita masih belum bisa berkompetisi di tingkat yang lebih tinggi. Pertanyaannya, dapatkan prinsip-prinsip Wikinomics dipakai untuk memecahkan persoalan ini ? Asumsi yang dipakai sama: resource eksternal lebih baik dan lebih tersedia daripada resource internal. Artinya, kurikulum, materi kuliah, dan bahkan dosen bisa saja berasal dari luar. Kurikulum dibuat dengan semangat kolaboratif (mirip dengan Wikipedia). Materi kuliah bisa saja dibuat oleh dosen dari perguruan tinggi lain, atau mengambil yang sudah jadi (seperti yang disediakan oleh MIT Open Courseware). Sebuah mata kuliah bisa saja diasuh oleh banyak dosen, menggunakan model plug-and-play: siapapun (yang memenuhi syarat tentunya) bisa mengajar 1-2 topik spesifik dimana dia memang ahlinya, dan penugasannya tidak tetap (tidak tiap semester harus mengajar sesi yang sama).

Kalau dipikir-pikir, mestinya bisa saja kita melakukan itu. Mengapa memaksakan untuk menyediakan semuanya oleh diri sendiri, sementara kita tahu di luar sana banyak resource yang bisa dimanfaatkan. Tentu saja realisasinya tidak sesederhana itu. Banyak hambatan yang harus dihadapi, seperti misalnya:
  1. Paradigma akreditasi Dikti yang sangat berorientasi pada self-sufficiency (yang dinilai adalah kapasitas sistem internal saja, sama sekali tidak memperhitungkan kapasitas network-building),
  2. Penjaminan mutu: bagaimana menjamin agar proses pembelajaran yang melibatkan banyak pihak yang tidak terikat (loosely-affiliated) bisa menghasilkan kompetensi yang ditetapkan ?
  3. Proses eksekusinya: implementasi model Wikinomics memerlukan sistem workflow yang handal. Desain sistem mulai dari kurikulum, materi, proses perkuliahan, dan evaluasi harus mengalir secara runtut dan logis, karena proses inilah yang menentukan seberapa tinggi nilai (value) yang bisa dihasilkan.
  4. ... dan yang tidak kalah penting, bagaimana menarik resource eksternal untuk berpartisipasi dalam model ini. Saya membayangkan permasalahan terbesar ada di sini. Paradigma konvensional tentang konsep penyelenggaraan layanan pendidikan tinggi akan menjadi penghalang utama, disamping cara berpikir sebagian besar masyarakat (akademik) kita yang masih terikat dengan keuntungan/manfaat langsung (direct benefits): manfaat apa yang bisa diperoleh jika saya berkontribusi dalam gerakan ini ?
Intinya, perlu kemampuan berpikir out-of-the-box, keberanian untuk mencoba hal-hal baru, dan konsisten dalam tindakan. Dunia di luar sana sudah memulainya, kapan giliran kita ? Tidak akan ada perubahan tanpa keberanian untuk mencoba :)

03 January 2008

Tools e-learning: tidak hanya infrastruktur saja

Kalau berbicara tentang penggunaan TI sebagai tool dalam e-learning, hampir semua pendapat terarah pada tools learning management systems (LMS) seperti WebCT, Blackboard, dan tentu saja Moodle yang bersifat free dan open source. Lihat saja program-program yang berorientasi pada implementasi e-learning. Pasti yang dilakukan adalah pengembangan LMS, disamping pengembangan materi ajarnya. Pertanyaannya: apakah tools seperti itu cukup memberikan dukungan untuk melaksanakan e-learning ? Jawabnya tergantung pada seberapa jauh kita memaknai e-learning.

Jika kita menganggap e-learning sesederhana penggunaan LMS sebagai repository materi ajar serta sarana berkomunikasi yang sangat sederhana (biasanya berupa forum diskusi on-line), tentu saja solusi LMS+materi ajar sudah bisa disebut sebagai e-learning. Tetapi kalau e-learning kita maknai sebagai metode berbasis TI untuk meningkatkan kinerja (human performance) melalui proses pembelajaran, tentu saja permasalahannya tidak sesederhana itu. Dalam pandangan ini, yang ditekankan adalah pada output pembelajarannya: seberapa banyak pengetahuan (knowledge) bisa diserap dan dikuasai oleh pembelajar. Akusisi pengetahuan bisa dilakukan dengan banyak cara, misalnya dengan cara transfer (dari dosen ke mahasiswa) atau eksplorasi mandiri ke berbagai resource pembelajaran yang ada. Disinilah TI bisa berperan banyak. TI bisa dimanfaatkan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan pembelajar: membaca, menyimak, memperhatikan, mengeksplorasi, meneliti, berdiskusi, berkonsultasi, dan sebagainya. Bagaimana TI bisa membuat kegiatan-kegiatan belajar tersebut bisa lebih berkualitas, inilah yang harusnya menjadi perhatian tools untuk e-learning. Sayangnya belum banyak perhatian ke arah ini.

Contoh sederhana: dengan adanya Internet, seorang mahasiswa bisa terekspose pada banyak sekali materi ajar. Banyak e-book, artikel, slide-slide presentasi, dan diktat-diktat on-line yang bisa diaksesnya. Dengan ragam yang semakin banyak dan bervariasi, sulit bagi mahasiswa tersebut untuk mengorganisir, mengklasifikasikan, dan menata materi-materi tersebut sehingga memudahkan proses eksplorasinya. Jika ada tool semacam knowledge organizer, tugas-tugasnya akan dapat dipermudah.

Jadi tools e-learning sebenarnya banyak ragamnya: apapun itu selama ia bisa memberikan dukungan bagi kegiatan-kegiatan belajar. Tool semacam ini tidak harus rumit dan kompleks. Aplikasi kecil yang berfungsi memonitor kemajuan belajarpun (study tracker) termasuk tool e-learning. Atau aplikasi pengindeks resource pembelajaran yang memudahkan mahasiswa mencari resource yang tepat untuk topik-topik tertentu.

Dengan sudut pandang yang lebih luas terhadap e-learning, implementasinya juga semakin terjangkau. Tools LMS+materi ajar adalah infrastruktur untuk e-learning. Implementasinya memerlukan resource yang cukup besar (misalnya, jaringan backbone kampus dan server yang cukup besar). Perlu juga usaha yang besar, karena agar bisa mencapai economy of scale yang layak diperlukan partisipasi masif dari dosen dan mahasiswa (LMS tidak akan bermanfaat kalau tidak ada yang mengisi dan menggunakannya). Sebaliknya tools yang handy untuk kegiatan belajar keseharian tidak memerlukan resource yang besar, dan usahanyapun bisa dimulai dari lingkup lokal. Sebagai contoh, aplikasi virtual blackboard yang memungkinkan apa yang ditulis dosen di papan tulis virtual bisa dibroadcast ke komputer-komputer mahasiswa bisa dipakai untuk lingkup kelas kecil. Cukup dimulai dengan kesepakatan antara dosen dan mahasiswa saja.

Sedikit pandangan di atas mungkin bisa dijadikan pertimbangan dalam merancang program-program pengembangan e-learning, khususnya di level perguruan tinggi. Jangan hanya fokus pada tools infrastruktur, tapi juga tools untuk akses ke kegiatan-kegiatan belajar yang sebenarnya.