03 January 2008

Tools e-learning: tidak hanya infrastruktur saja

Kalau berbicara tentang penggunaan TI sebagai tool dalam e-learning, hampir semua pendapat terarah pada tools learning management systems (LMS) seperti WebCT, Blackboard, dan tentu saja Moodle yang bersifat free dan open source. Lihat saja program-program yang berorientasi pada implementasi e-learning. Pasti yang dilakukan adalah pengembangan LMS, disamping pengembangan materi ajarnya. Pertanyaannya: apakah tools seperti itu cukup memberikan dukungan untuk melaksanakan e-learning ? Jawabnya tergantung pada seberapa jauh kita memaknai e-learning.

Jika kita menganggap e-learning sesederhana penggunaan LMS sebagai repository materi ajar serta sarana berkomunikasi yang sangat sederhana (biasanya berupa forum diskusi on-line), tentu saja solusi LMS+materi ajar sudah bisa disebut sebagai e-learning. Tetapi kalau e-learning kita maknai sebagai metode berbasis TI untuk meningkatkan kinerja (human performance) melalui proses pembelajaran, tentu saja permasalahannya tidak sesederhana itu. Dalam pandangan ini, yang ditekankan adalah pada output pembelajarannya: seberapa banyak pengetahuan (knowledge) bisa diserap dan dikuasai oleh pembelajar. Akusisi pengetahuan bisa dilakukan dengan banyak cara, misalnya dengan cara transfer (dari dosen ke mahasiswa) atau eksplorasi mandiri ke berbagai resource pembelajaran yang ada. Disinilah TI bisa berperan banyak. TI bisa dimanfaatkan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan pembelajar: membaca, menyimak, memperhatikan, mengeksplorasi, meneliti, berdiskusi, berkonsultasi, dan sebagainya. Bagaimana TI bisa membuat kegiatan-kegiatan belajar tersebut bisa lebih berkualitas, inilah yang harusnya menjadi perhatian tools untuk e-learning. Sayangnya belum banyak perhatian ke arah ini.

Contoh sederhana: dengan adanya Internet, seorang mahasiswa bisa terekspose pada banyak sekali materi ajar. Banyak e-book, artikel, slide-slide presentasi, dan diktat-diktat on-line yang bisa diaksesnya. Dengan ragam yang semakin banyak dan bervariasi, sulit bagi mahasiswa tersebut untuk mengorganisir, mengklasifikasikan, dan menata materi-materi tersebut sehingga memudahkan proses eksplorasinya. Jika ada tool semacam knowledge organizer, tugas-tugasnya akan dapat dipermudah.

Jadi tools e-learning sebenarnya banyak ragamnya: apapun itu selama ia bisa memberikan dukungan bagi kegiatan-kegiatan belajar. Tool semacam ini tidak harus rumit dan kompleks. Aplikasi kecil yang berfungsi memonitor kemajuan belajarpun (study tracker) termasuk tool e-learning. Atau aplikasi pengindeks resource pembelajaran yang memudahkan mahasiswa mencari resource yang tepat untuk topik-topik tertentu.

Dengan sudut pandang yang lebih luas terhadap e-learning, implementasinya juga semakin terjangkau. Tools LMS+materi ajar adalah infrastruktur untuk e-learning. Implementasinya memerlukan resource yang cukup besar (misalnya, jaringan backbone kampus dan server yang cukup besar). Perlu juga usaha yang besar, karena agar bisa mencapai economy of scale yang layak diperlukan partisipasi masif dari dosen dan mahasiswa (LMS tidak akan bermanfaat kalau tidak ada yang mengisi dan menggunakannya). Sebaliknya tools yang handy untuk kegiatan belajar keseharian tidak memerlukan resource yang besar, dan usahanyapun bisa dimulai dari lingkup lokal. Sebagai contoh, aplikasi virtual blackboard yang memungkinkan apa yang ditulis dosen di papan tulis virtual bisa dibroadcast ke komputer-komputer mahasiswa bisa dipakai untuk lingkup kelas kecil. Cukup dimulai dengan kesepakatan antara dosen dan mahasiswa saja.

Sedikit pandangan di atas mungkin bisa dijadikan pertimbangan dalam merancang program-program pengembangan e-learning, khususnya di level perguruan tinggi. Jangan hanya fokus pada tools infrastruktur, tapi juga tools untuk akses ke kegiatan-kegiatan belajar yang sebenarnya.

No comments: