18 June 2008

Pilih Mana: Sistem yang Rigid atau Manusiawi ?

Sekali lagi saya berkesempatan untuk mengunjungi Eropa, tepatnya ke Inggris. Seperti di negara-negara maju lainnya, Inggris memiliki berbagai sistem yang teratur dan rigid, segala sesuatunya berdasarkan standard operating procedure (SOP). Dari mulai transportasi, pelayanan kesehatan, kehidupan di kampus -- ini adalah yang sempat saya temui. Semua petugas bekerja sesuai bagiannya, dan pemakai/pengguna jasapun tahu hak dan kewajibannya. Tidak heran kalau di Student Service Center University of Manchester, semacam Bagian Kemahasiswaan di universitas di Indonesia, hanya diawaki oleh tidak lebih dari 5 orang.

Jadi sekali lagi kuncinya adalah aturan (termasuk SOP) yang jelas dan ditegakkan, SDM yang kapabel, kesadaran yang tinggi dari konsumen, plus dukungan sistem TI yang memadai. Tapi pertanyaannya, apakah ini adalah sistem yang ideal ? Mungkin jawaban kita adalah, "ya, tentu saja". Tapi tunggu dulu ... Saya juga mendapatkan kesan bahwa sistem yang serba teratur itu sangat mekanistis. Tidak ada sentuhan manusiawi sedikitpun. Saya berikan dua contoh. Yang pertama pengalaman nyata yang saya alami sendiri. Pada saat menunggu bis kota, saya sudah di halte yang ditentukan, hanya saja saya berdiri di luar titik/spot untuk masuk ke bis (mungkin sekitar 3-4 meter dari titik itu). Apa yang terjadi ? Sopir bis menolak saya masuk, dan memberi isyarat agar saya pindah ke titik itu. Apa sih susahnya membukakan pintu saat itu, padahal saat itu toh saya hanya satu-satunya calon penumpang bis tadi... Contoh kedua diceritakan adik saya. Katanya, jika kita sakit gigi atau sakit apapun yang sebenarnya tidak terlalu serius tapi memerlukan perhatian dokter dengan segera, itu akan menjadi siksaan. Pasalnya, semua rumah sakit dan dokter selalu meminta perjanjian dulu untuk ditemui. Kalau benar-benar memerlukan pertolongan, datanglah ke ICU. Bayangkan, mau periksa gigi harus ke ICU rumah sakit ??? Kata adik saya, ada temannya orang Jepang yang tidak tahan dengan kondisi itu. Saat frustasi dengan sakit giginya, dia memutuskan untuk pulang ke Jepang, mencabut giginya di sana, dan balik lagi ke Inggris...

Jika memperhatikan contoh-contoh di atas, nampaknya di Indonesia lebih menyenangkan. Bukan karena sistemnya yang masih amburadul, tapi kita masih bisa menikmati sentuhan-sentuhan manusiawi dalam sistem tersebut. Itu yang membuat kita merasa hangat berada di Indonesia. Nah, sekarang tantangannya, mampukah kita, orang Indonesia, untuk mengawinkan kedua faktor ini ? Bisakah kita membuat sebuah sistem yang jelas dan tegak, tapi masih memiliki ruang-ruang untuk mengekspresikan unsur-unsur manusiawi ?

Saya pikir kuncinya kembali pada SDM. Masalah aturan, SOP, dsb itu mudah. Yang sulit adalah mencetak SDM yang pintar (termasuk dalam membuat sistem-sistem berbasis TI). Dan yang paling sulit adalah membuat SDM yang pintar itu juga memiliki konsistensi dan integritas moral yang tinggi, tanpa kehilangan kehangatannya sebagai ciri orang Indonesia.

Mampukah kita ? Bisakah sistem pendidikan kita memenuhi kebutuhan itu ? Jika kita bisa, saya yakin pelayanan publik kita akan mengungguli semua negara maju tersebut.