11 February 2008

Spam yang Inovatif

Beberapa hari yang lalu saya mengalami gangguan spam yang inovatif. Sebenarnya bukan saya langsung yang diganggu, melainkan salah seorang mahasiswa saya yang kebetulan juga pernah menjadi staf di perusahaan yang saya pimpin. Sebut saja dia ini si X. Saya mendapatkan email spam dari seseorang, sebut saja Carlos, yang kalau dilihat dari alamat emailnya berasal dari Italia. Email ini menyebutkan bahwa saya harus memberitahu X untuk menghubungi Carlos karena urusan fraud yang telah dia lakukan. Email tsb bahkan mengatakan apa yang telah dilakukan X juga bisa menyeret perusahaan saya ke ranah hukum.

Saya sebenarnya tidak mempedulikan email tersebut, tetapi kemudian menjadi tertarik setelah X menghubungi saya dengan nada khawatir. Ternyata dia juga mendapatkan email dari Carlos, dan yang membuatnya khawatir adalah si Carlos tidak hanya mengirimkan email, tetapi juga menelponnya. Ya, si spammer Italia itu sampai menelpon si X. Katanya, X dituduh telah membobol account bank-nya dan menguras isinya. Tentu saja X menolak dan mengatakan tidak tahu apa-apa, tapi Carlos tetap berkeras.

Saya katakan ke X agar jangan khawatir karena itu adalah usaha spammers (lebih tepatnya adalah pemeras), karena dari isi email, gaya bahasa, dan asal account email kelihatan bahwa itu semua mengarah pada tindakan spam/pemerasan. Tidak ada nama lengkap, identitas diri atau perusahaan, kronologi peristiwa, dan informasi lain yang menunjukkan keseriusan dan kebenaran isi email tersebut. Email ke saya bahkan dikirimkan ke account Yahoo saya, bukan ke alamat email resmi perusahaan

Dari mana Carlos tahu bahwa saya punya hubungan atasan-bawahan dengan X ? Ternyata dari CV si X yang kebetulan kelihatan di Internet. Di CV tsb nama saya tertulis sebagai pemberi rekomendasi X, lengkap dengan alamat Yahoo dan no telpon HP saya... Pantesan saja ...

Yang membuat saya tertarik adalah betapa kerasnya usaha Carlos untuk menerkam mangsanya, sampai-sampai dia menelpon X. Bahkan dia juga berusaha menelpon saya, tetapi karena saya sudah diberitahu X, maka panggilan telpon dia tidak saya angkat. Dia tidak hanya sekedar mengirim email, tetapi juga menelpon untuk memperkuat aksinya tersebut. Kemudian juga, spam dia juga melibatkan intervensi manual dan sedikit riset (mencari hubungan antara saya dan si X jelas memerlukan keterlibatan orang, bukan sekedar mesin otomatis). Modusnyapun baru, si spammer mencoba menakut-nakuti mangsanya dengan menggiringnya ke ranah kriminal. Kalau mangsanya tidak tahu dan takut, mudah baginya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Kesimpulannya, ini kejadian baru bagi saya, dan pelajaran berharga yang patut kita petik adalah, banyak orang jahat diluar sana yang semakin canggih. Kita harus semakin hati-hati dalam memanfaatkan Internet, dan jangan mudah memamerkan informasi sensitif tentang diri kita di Internet.

Sungguh inovatif...tetapi inovasi yang merugikan orang lain...

08 February 2008

Emotional experience dalam Web

Dalam liburan panjang kali ini (meskipun akhirnya dibatalkan pemerintah), saya berkesempatan melakukan hal-hal yang mustahil saya lakukan kalau tidak libur: menonton acara-acara variety show di TV. Macam-macam yang saya tonton, dari kuis sampai idol-idol-an, tapi semuanya mengusung satu hal yang sama: mereka mengeksploitasi pengalaman emosional (emotional experience) dari pemirsa. Eksploitasi inilah yang pada akhirnya membuat penonton dengan sukarela mengirimkan ribuan sms dukungan, yang pada akhirnya situasi ini dibidik secara jeli untuk dibisniskan.

Well, saya tidak berpikir tentang aspek bisnisnya, tapi tentang kemungkinan mengeksploitasi pengalaman emosional dalam dunia virtual, melalui Web. Menurut pengamatan saya, TV-TV tersebut sukses karena beberapa hal: 1) teknologi komunikasi yang sudah maju dan murah, 2) klasifikasi kontestan menuruti sentimen pemirsa (misalnya, kriteria asal daerah, profesi, jenis kelamin, dsb), 3) ajakan bagi pemirsa untuk terlibat dalam jalannya acara, yang sebenarnya adalah proses rekayasa untuk mematangkan dan akhirnya meledakkan emosi pemirsa, dan 4) kemasan acara itu sendiri, yang merupakan wadah bagi pemirsa untuk menyalurkan emosinya (melalui sms atau telepon).

TV sudah membuktikan keberhasilannya sebagai media untuk eksploitasi pengalaman emosional pemirsanya. Bagaimana dengan Web ?

Faktor pertama menurut saya sudah terpenuhi, meskipun untuk Indonesia jelas jangkauannya belum seluas televisi. Jadi economy of scale-nya masih perlu diuji. Faktor kedua juga bisa dijalankan di Web. Ini tidak ada kaitannya dengan media, tapi tergantung kreativitas show designer-nya. Semakin tajam klasifikasinya (artinya, semakin ia mampu menarik keberpihakan pemirsa), semakin besar peluang untuk membangkitkan emosi pemirsa.

Faktor ketiga juga sama, bahkan Web punya peluang yang lebih besar dibandingkan TV karena interaksi pemakainya yang lebih kaya. Web memungkinkan terjadinya interaksi yang bersifat massal, dan pada saat yang sama melakukan personalisasi untuk setiap sesi interaksi. Contoh yang jelas adalah Amazon: bagaimana Amazon bisa berjualan dengan volume yang sangat masif, tetapi masih bisa memberikan layanan personal bagi tiap pelanggannya. Saya pikir Web menyediakan banyak kesempatan dan peluang untuk mengkesplorasi kekayaan interaksi ini.

Yang terakhir, faktor keempat juga memungkinkan dijalankan di Web. Sekarang ini bertaburan layanan-layanan Web yang bisa dianalogikan sebagai acara TV. Layanan-layanan ini punya tema/fokus spesifik, menjaring sebanyak mungkin pemakai, memfasilitasi interaksi antar pemakai, dan memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai baru dari interaksi tersebut. Orang sering menyebutnya sebagai social networking. Contohnya, layanan LinkedIn, Friendster, Facebook, layanan-layanan dating online, dsb.

Jadi, kalau mau membuat semacam American Idol di Web, tantangan yang harus dihadapi adalah mencari topik yang menarik, merancang pola-pola klasifikasi untuk menarik sentimen pengguna, merancang model interaksi bagi pengguna, dan mewadahi itu semua dalam sebuah kemasan layanan yang menarik. Mungkin yang belum bisa populer di Indonesia adalah membuat acara live melalui Web. Teknologi webcasting secara real-time memang sudah ada, tapi pemanfaatannya masih akan terkendala di Indonesia, karena keterbatasan bandwidth. Padahal sense dan thrill dari acara live itulah yang sering diandalkan untuk membangkitkan emosi pemirsa.

Web 2.0 telah datang, mindset para pemakai sudah siap. Tinggal membuat wadahnya saja. Tantangan bagi orang-orang yang memiliki kreativitas...

04 February 2008

Bandara Soekarno-Hatta Lumpuh

Ya, Bandara Soekarno-Hatta (BSH) sempat ditutup 6 jam pada tanggal 1 Februari 2008 lalu karena hujan yang begitu deras membuat visibility di runway tinggal 300m, jelas tidak layak untuk landing maupun take-off. Hujan juga membuat jalanan Jakarta tergenang, dan lengkaplah sudah kelumpuhan BSH.

Menariknya, setelah BSH dibukapun ia belum bisa beroperasi normal. Pasalnya jalan-jalan akses ke bandara masih kebanjiran, terutama jalan tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo di km 24-27, yang meskipun tidak hujanpun sering banjir akibat luapan air laut pasang. Akhirnya selama 3 hari berikutnya, berita koran-koran dihiasi dengan hiruk pikuk kepanikan sistem penerbangan di Jakarta.

Yang ingin saya soroti adalah efek berantai yang ditimbulkan dari kegagalan sebuah subsistem. Tampaknya sistem-sistem sekarang ini, apapun itu, sangat terkait satu sama lain. Kelancaran penerbangan di bandara terkait dengan akses/transportasi dari/ke bandara. Sebaliknya problem pada jadwal penerbangan akan mempengaruhi banyak kegiatan lainnya, yang sering kali tidak ada hubungannya dengan penerbangan. Di koran misalnya, diberitakan bagaimana seseorang tidak bisa menghadiri pemakaman orang tuanya gara-gara pesawatnya batal berangkat. Dalam situasi normal, apa hubungannya antara pemakaman dan penerbangan ? Intinya, gangguan pada satu titik akan membawa efek berantai yang luar biasa.

Lepas dari semua problem yang muncul dan kerugian yang diderita, kejadian ini menunjukkan fenomena umum sistem ekonomi dewasa ini. Saling terkait, meskipun masing-masing punya domain sendiri. Keterkaitan ini memaksa kita untuk memandang sebuah sistem secara holistik, tidak bisa parsial. Bahkan jika perlu harus melihat juga eksternalitas dari sistem. BSH mungkin sudah bisa beroperasi normal, tapi jika jalan akses keluar/masuknya masih mampet, pilot, pramugari, ground crew, supply makanan, supply bahan bakar, dsb juga akan terhambat, dan akhirnya sistem penerbanganpun terganggu.

Pelajaran berharga ini patut direnungkan oleh siapapun yang bertanggungjawab memikirkan operasi sebuah sistem, terutama yang terkait dengan manajemen resiko. Selain kemampuan untuk berpikir holistik, diperlukan pula kemampuan untuk berpikir lateral (meluas). Berpikir tidak hanya pada sistem itu sendiri, tapi juga hal-hal lain yang langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kelancaran operasi sistem. Dalam mengelola bisnis, memimpin kantor, memulai usaha, memimpin pelaksanaan proyek, menjalankan misi dalam perang, menempuh studi, dan banyak lagi, situasi di atas bisa saja muncul di hadapan kita. Siapkah kita menghadapinya ?

Kemampuan berpikir lateral memungkinkan kita memandang dengan perspektif helicopter view. Pandangan dari atas memungkinkan kita melihat sesuatu secara utuh, tidak hanya komponen-komponen sistemnya tapi juga keterkaitan antar komponen. Jika kita ingin masuk lebih dalam, kita bisa lakukan zooming-in tanpa kehilangan konteks utuhnya.

Saya rasa berpikir lateral adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini sudah diisyaratkan Tuhan kepada pemimpin-pemimpin bangsa ini. Banyak sudah contoh yang diberikan Tuhan agar kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu dalam memandang sesuatu. Persoalannya, bangsa ini mudah lupa, atau bahkan mungkin ndableg...