06 May 2012

Pendidikan: akan berubahkah cara kita menyelenggarakannya?


Bulan April kemarin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Mendikbud no 24/2012 tentang penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (PJJ). Permendikbud tersebut intinya mengijinkan penyelenggaraan PJJ oleh perguruan tinggi di Indonesia dengan beberapa syarat tertentu. Kalau dahulu PJJ didominasi oleh Universitas Terbuka (UT), sekarang perguruan tinggi yang penyelenggaraan pendidikannya berbasis kelas (konvensional) juga dipersilakan untuk menyelenggarakan PJJ. Tujuannya adalah perluasan dan pemerataan akses bagi masyarakat ke layanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan.

Dalam dunia yang semakin terhubung oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), Permendikbud tersebut pasti akan ditangkap sebagai peluang. Bagaimana tidak? Demand akan layanan pendidikan tinggi begitu besar, sementara kapasitas fisik (kelas, lab, dan fasilitas lainnya) di berbagai perguruan tinggi relatif tidak bertambah. Penguasaan teknologi, dan ketersediaan TIK yang cukup memadai akan membuat beberapa perguruan tinggi berpikir bahwa mereka dapat menawarkan program-program studinya melalui mode PJJ untuk memperluas pasar.

Kajian yang lebih mendalam terhadap kelayakan penyelenggaraan PJJ oleh perguruan tinggi konvensional pasti akan sampai pada satu temuan bahwa PJJ yang bermutu itu tidak mudah dijalankan. Ketidakhadiran interaksi fisik antara mahasiswa dan dosen harus digantikan dengan mekanisme lain (misalnya, belajar melalui media online). Persoalannya, baik mahasiswa dan dosen pada umumnya belum terbiasa dengan karakteristik PJJ, sehingga efektivitas mekanisme alternatif ini menjadi tidak optimal. Belum lagi jika membicarakan tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan secara fisik, misalnya melaksanakan ujian. Siapa yang menyediakan sumber daya untuk keperluan itu?

Tidak mungkin bagi sebuah perguruan tinggi menangani sendiri semua hal yang diperlukan dalam penyelenggaraan PJJ, karena akan terlalu berat. Solusi alamiahnya: kolaborasi antar perguruan tinggi. Dua atau lebih perguruan tinggi bekerjasama dalam penyelenggaraan PJJ, dan masing-masing mengambil peran tertentu dalam membangun keutuhan proses pembelajaran. Ada yang memikirkan kurikulum dan materi ajar, ada yang menyediakan dosen atau tutor, ada yang menyiapkan fasilitas fisik, dan sebagainya.

Kolaborasi antara beberapa perguruan tinggi dalam penyelenggaraan sebuah program studi menunjukkan adanya pandangan kontemporer terhadap pendidikan. Cara pandang konvensional yang menganut paham “semua ditangani sendiri” (oleh perguruan tinggi penyelenggara) digantikan oleh model work flow yang mengisyaratkan komponen-komponen penyelenggaraan program studi bisa dipasok oleh pihak-pihak lain asal memenuhi standar atau kesepakatan tertentu. Fenomena work flow ini sebenarnya bukan hal baru, dan Thomas Friedman telah menobatkannya pula sebagai salah satu flatteners yang membentuk tatanan dunia saat ini.

Meskipun model kerja kolaboratif telah diadopsi sejak lama (contoh sederhana: komponen-komponen komputer kita dari dulu selalu berasal dari berbagai produsen yang berbeda), kelihatannya dunia pendidikan baru mulai tergugah belakangan ini.  Kolaborasi selalu memerlukan keterbukaan yang bermuara pada mekanisme saling berbagi (sharing). Di dunia pendidikan, fenomena saling berbagi baru bergerak secara signifikan akhir-akhir ini. Geliatnya bisa dibaca sejak Massachussetts Institute of Technology meluncurkan program Open Courseware (OCW) beberapa tahun yang lalu, yang kemudian diikuti oleh Coursera (aliansi antara Princeton U., Stanford U., U. of Michigan, dan U. of Pennsylvania) dan edX (yang diinisiasi oleh Harvard U. dan MIT). Baik OCW, Coursera, dan edX menawarkan kuliah-kuliah yang bisa diikuti oleh publik secara gratis.

Keterbukaan bagi pihak lain untuk mengakses sumber daya yang kita miliki adalah cara paling efektif untuk membangun jejaring (network) dengan pihak lain. Jejaring inilah yang akan menjadi wahana bagi perluasan jangkauan layanan pendidikan. Dalam tatanan ekonomi berbasis jejaring (network economy) berlaku prinsip “jumlah yang banyak”, artinya nilai sebuah produk akan meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah pemakai. Dalam contoh inisiatif kuliah-kuliah online gratis yang ditawarkan beberapa perguruan tinggi terkemuka di AS, mungkin arah inilah yang ingin dibidik oleh mereka. Semakin banyak orang yang mengikuti kuliah gratis itu, semakin meningkat nilai program-program pendidikan mereka.

Kembali ke kolaborasi antar perguruan tinggi dalam penyelenggaraan PJJ, jika hal ini terwujud, maka layanan pendidikan akan dipandang seperti halnya komoditas lainnya yang dapat diproduksi melalui sebuah work flow tertentu.  Proses pembelajaran dipandang sebagai sebuah konstruksi yang dapat dibangun secara padu-padan (mix-n-match). Komponen-komponen pembangunnya disusun menuruti suatu kerangka yang dibuat menurut standar atau kesepakatan tertentu, dan dapat disediakan oleh lebih dari satu provider. Dalam kasus yang ekstrem, granularitas padu-padan ini bisa sangat halus. Sebagai contoh, kuliah-kuliah yang ditawarkan dalam sebuah kurikulum dapat ditempuh di institusi-institusi yang berbeda, dengan dosen yang berbeda, dan lingkungan pembelajaran yang berbeda pula.

Pendekatan kolaborasi memang efisien dan layak untuk menghadapi persoalan keterbatasan sumber daya dan menjawab tantangan perluasan jangkauan, tetapi masih ada beberapa pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Pertanyaan pertama terkait dengan substansi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang utuh tidak hanya sekedar transfer ilmu, tetapi membentuk karakter dan membangun nilai juga. Bisakah ini dilakukan dengan mode PJJ? Pertanyaan kedua terkait dengan pelaksanaan PJJ itu sendiri. Sudah siapkah semua pihak yang terkait untuk melaksanakannya? Selain persiapan infrastruktur dan sumber daya, masih ada keharusan untuk mengubah cara berpikir (mindset). Siapkah Jurusan, Fakultas, atau Universitas untuk menerima kenyataan bahwa sebagian dari proses pembelajaran yang dijalankan di program-program studinya dilaksanakan oleh pihak lain? Siapkah para dosen untuk lebih sering berkomunikasi secara online karena mahasiswanya berada di tempat yang terpisah?

Meminjam istilahnya Thomas Friedman, sepertinya saat ini proses flattening sedang melanda dunia pendidikan. Tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya kelak, tetapi sebaiknya kita mulai menyiapkan diri.


3 comments:

massuatmo said...

Alhamdulillah, dapat pencerahan. Saya setuju kalau setiap institusi pendidikan secepatnya bersiap diri untuk itu,karena tampaknya ke depan memang hal semacam itu tidak dapat dihindari. Apa yang sudah dilakukan UT barangkali dapat diadopsi, namun sudah tentu diperlukan penambahan dan/atau penyesuaian-penyesuaian.Terima kasih atas pencerahannya Bapak. Wasalam.

Dandy said...

baru minggu lalu terlintas untuk menerapkan hal seperti ini, tapi saya agak pesimis, karena tabiat sekelompok orang, yang nantinya malah menciderai pendidikan itu sendiri...

Lukito Edi Nugroho said...

Memang sulit utk menerapkan di awal, tetapi spt fenomena-fenomena perubahan lain yg muncul akibat desakan teknologi, kita tidak akan bisa menghindarinya. Kapan itu terjadi, kita belum tahu...