12 August 2008

BSE dan penyebarannya

Berita di Kompas tanggal 21 Juli 2008 menyebutkan bahwa program Buku Sekolah Elektronis (BSE) masih mengalami kendala dalam pemanfaatannya. Program ini sebenarnya bertujuan mulia: membantu masyarakat dalam mengakses buku pelajaran secara murah dengan cara pemerintah membeli hak cipta dan mengambil alih biaya penulisan dan penerbitan buku. Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, kemudian memformat buku pelajaran dalam bentuk digital, kemudian memasangnya di beberapa server sehingga masyarakat dapat mengunduhnya secara cuma-cuma. Depdiknas berharap usaha digitalisasi ini bisa membantu distribusi buku secara luas, tetapi seperti diberitakan, ada kendala-kendala operasional yang menghadang.
Keluhan yang muncul pada umumnya mempertanyakan efektivitas mekanisme distribusi buku secara on-line. Mayoritas sasaran, yaitu para siswa, kebanyakan tidak mampu mengakses buku digital tersebut karena tidak tersedianya koneksi Internet yang cukup dan terjangkau biayanya. Persoalan dasarnya sebenarnya terletak pada pendekatan distribusi yang digunakan Depdiknas. Program BSE adalah program yang bersifat open content. Ada kebebasan yang kuat dalam mengakses, menggunakan, mencetak, bahkan menjualnya. Kebebasan ini harus ditawarkan kepada masyarakat agar mereka mampu menarik manfaat darinya. Untuk itu diperlukan penetrasi yang kuat agar buku-buku tersebut dikenal di masyarakat. Barrier-to-entry harus diturunkan, dan itu berarti harus menggunakan mekanisme distribusi yang berbiaya rendah (low cost). Karena biaya reproduksi materi digital bisa dianggap nol, maka efektivitas distribusi sangat ditentukan oleh media atau salurannya.
Barangkali apa yang dilakukan oleh komunitas Open Source dalam mendistribusikan perangkat lunak-perangkat lunak bebasnya dapat ditiru oleh Depdiknas. Selain secara on-line (yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia masih dianggap mahal), distribusi dilakukan juga secara off-line. CD-ROM adalah salah satu media yang efektif. Harga sekeping CD-ROM cukup terjangkau bahkan oleh kelompok masyarakat di daerah. Sekarang ini, CD-ROM berisi sistem operasi Linux dan program-program lainnya dapat dijumpai bahkan sampai ke daerah-daerah.
Jadi yang perlu dilakukan oleh Depdiknas adalah membuka saluran distribusi lain. Buku-buku digital tersebut bisa dikemas dalam satu CD-ROM, lalu digandakan, dan dikirimkan ke tiap sekolah di seluruh Indonesia. Sesampai di sekolah, biarkan mekanisme alamiah yang bekerja. Misalnya, sekolah bisa mencetak beberapa eksemplar lalu meminta murid-murid untuk memfotokopinya. Atau bisa saja murid-murid menyalin isi CD ke komputer mereka masing-masing.
Saluran distribusi lain misalnya melalui pihak ketiga seperti warnet, toko-toko CD, komunitas-komunitas penggiat TI, dan sebagainya. Dengan pendekatan yang baik, rasanya mereka tidak akan keberatan dimintai bantuannya menyebarkan buku-buku digital ini dengan berbagai cara.
Di sisi lain, Depdiknas juga perlu mengakselerasi produksi buku-buku digitalnya. Judul-judul perlu diperbanyak dan kualitas buku juga perlu dijaga. Ini semua merupakan insentif bagi masyarakat sebagai pemakai. Mereka akan mengapresiasi jika Depdiknas bisa menyediakan buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan mereka, dan dengan demikian dengan senang hati akan ikut serta dalam usaha distribusinya.
Intinya, inisiatif open content memerlukan keterlibatan masyarakat luas, dan partisipasi masyarakat dapat dibangun jika mereka melihat adanya insentif dalam program tersebut, serta mampu mengaksesnya. Sekali rantai ini terbangun, distribusi akan bisa dilakukan dengan biaya yang minimal.
“Rantai” ini sebenarnya bisa dikembangkan mengikuti hukum ekonomi jaringan. Artinya ada penciptaan nilai-nilai baru mengikuti aliran dalam rantai tersebut. Depdiknas bisa saja membuka kesempatan bagi masyarakat untuk ikut menyempurnakan kualitas dari buku-buku digital tersebut (konsepnya mirip dengan Wikipedia). Atau Depdiknas mengijinkan pihak lain melengkapi buku-buku tersebut dengan suplemen-suplemen pendukung (alat peraga, koleksi soal, dan sebagainya). Dengan pendekatan ini, nilai buku-buku tersebut senantiasa semakin meningkat dari waktu ke waktu, tanpa ada usaha yang besar di pihak Depdiknas. Di sisi lain, sekolah dan siswa-siswa pasti akan berterima kasih karena bisa mendapatkan materi belajar yang berkualitas secara murah dan mudah.

No comments: