06 May 2012

Pendidikan: akan berubahkah cara kita menyelenggarakannya?


Bulan April kemarin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Mendikbud no 24/2012 tentang penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (PJJ). Permendikbud tersebut intinya mengijinkan penyelenggaraan PJJ oleh perguruan tinggi di Indonesia dengan beberapa syarat tertentu. Kalau dahulu PJJ didominasi oleh Universitas Terbuka (UT), sekarang perguruan tinggi yang penyelenggaraan pendidikannya berbasis kelas (konvensional) juga dipersilakan untuk menyelenggarakan PJJ. Tujuannya adalah perluasan dan pemerataan akses bagi masyarakat ke layanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan.

Dalam dunia yang semakin terhubung oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), Permendikbud tersebut pasti akan ditangkap sebagai peluang. Bagaimana tidak? Demand akan layanan pendidikan tinggi begitu besar, sementara kapasitas fisik (kelas, lab, dan fasilitas lainnya) di berbagai perguruan tinggi relatif tidak bertambah. Penguasaan teknologi, dan ketersediaan TIK yang cukup memadai akan membuat beberapa perguruan tinggi berpikir bahwa mereka dapat menawarkan program-program studinya melalui mode PJJ untuk memperluas pasar.

Kajian yang lebih mendalam terhadap kelayakan penyelenggaraan PJJ oleh perguruan tinggi konvensional pasti akan sampai pada satu temuan bahwa PJJ yang bermutu itu tidak mudah dijalankan. Ketidakhadiran interaksi fisik antara mahasiswa dan dosen harus digantikan dengan mekanisme lain (misalnya, belajar melalui media online). Persoalannya, baik mahasiswa dan dosen pada umumnya belum terbiasa dengan karakteristik PJJ, sehingga efektivitas mekanisme alternatif ini menjadi tidak optimal. Belum lagi jika membicarakan tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan secara fisik, misalnya melaksanakan ujian. Siapa yang menyediakan sumber daya untuk keperluan itu?

Tidak mungkin bagi sebuah perguruan tinggi menangani sendiri semua hal yang diperlukan dalam penyelenggaraan PJJ, karena akan terlalu berat. Solusi alamiahnya: kolaborasi antar perguruan tinggi. Dua atau lebih perguruan tinggi bekerjasama dalam penyelenggaraan PJJ, dan masing-masing mengambil peran tertentu dalam membangun keutuhan proses pembelajaran. Ada yang memikirkan kurikulum dan materi ajar, ada yang menyediakan dosen atau tutor, ada yang menyiapkan fasilitas fisik, dan sebagainya.

Kolaborasi antara beberapa perguruan tinggi dalam penyelenggaraan sebuah program studi menunjukkan adanya pandangan kontemporer terhadap pendidikan. Cara pandang konvensional yang menganut paham “semua ditangani sendiri” (oleh perguruan tinggi penyelenggara) digantikan oleh model work flow yang mengisyaratkan komponen-komponen penyelenggaraan program studi bisa dipasok oleh pihak-pihak lain asal memenuhi standar atau kesepakatan tertentu. Fenomena work flow ini sebenarnya bukan hal baru, dan Thomas Friedman telah menobatkannya pula sebagai salah satu flatteners yang membentuk tatanan dunia saat ini.

Meskipun model kerja kolaboratif telah diadopsi sejak lama (contoh sederhana: komponen-komponen komputer kita dari dulu selalu berasal dari berbagai produsen yang berbeda), kelihatannya dunia pendidikan baru mulai tergugah belakangan ini.  Kolaborasi selalu memerlukan keterbukaan yang bermuara pada mekanisme saling berbagi (sharing). Di dunia pendidikan, fenomena saling berbagi baru bergerak secara signifikan akhir-akhir ini. Geliatnya bisa dibaca sejak Massachussetts Institute of Technology meluncurkan program Open Courseware (OCW) beberapa tahun yang lalu, yang kemudian diikuti oleh Coursera (aliansi antara Princeton U., Stanford U., U. of Michigan, dan U. of Pennsylvania) dan edX (yang diinisiasi oleh Harvard U. dan MIT). Baik OCW, Coursera, dan edX menawarkan kuliah-kuliah yang bisa diikuti oleh publik secara gratis.

Keterbukaan bagi pihak lain untuk mengakses sumber daya yang kita miliki adalah cara paling efektif untuk membangun jejaring (network) dengan pihak lain. Jejaring inilah yang akan menjadi wahana bagi perluasan jangkauan layanan pendidikan. Dalam tatanan ekonomi berbasis jejaring (network economy) berlaku prinsip “jumlah yang banyak”, artinya nilai sebuah produk akan meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah pemakai. Dalam contoh inisiatif kuliah-kuliah online gratis yang ditawarkan beberapa perguruan tinggi terkemuka di AS, mungkin arah inilah yang ingin dibidik oleh mereka. Semakin banyak orang yang mengikuti kuliah gratis itu, semakin meningkat nilai program-program pendidikan mereka.

Kembali ke kolaborasi antar perguruan tinggi dalam penyelenggaraan PJJ, jika hal ini terwujud, maka layanan pendidikan akan dipandang seperti halnya komoditas lainnya yang dapat diproduksi melalui sebuah work flow tertentu.  Proses pembelajaran dipandang sebagai sebuah konstruksi yang dapat dibangun secara padu-padan (mix-n-match). Komponen-komponen pembangunnya disusun menuruti suatu kerangka yang dibuat menurut standar atau kesepakatan tertentu, dan dapat disediakan oleh lebih dari satu provider. Dalam kasus yang ekstrem, granularitas padu-padan ini bisa sangat halus. Sebagai contoh, kuliah-kuliah yang ditawarkan dalam sebuah kurikulum dapat ditempuh di institusi-institusi yang berbeda, dengan dosen yang berbeda, dan lingkungan pembelajaran yang berbeda pula.

Pendekatan kolaborasi memang efisien dan layak untuk menghadapi persoalan keterbatasan sumber daya dan menjawab tantangan perluasan jangkauan, tetapi masih ada beberapa pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Pertanyaan pertama terkait dengan substansi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang utuh tidak hanya sekedar transfer ilmu, tetapi membentuk karakter dan membangun nilai juga. Bisakah ini dilakukan dengan mode PJJ? Pertanyaan kedua terkait dengan pelaksanaan PJJ itu sendiri. Sudah siapkah semua pihak yang terkait untuk melaksanakannya? Selain persiapan infrastruktur dan sumber daya, masih ada keharusan untuk mengubah cara berpikir (mindset). Siapkah Jurusan, Fakultas, atau Universitas untuk menerima kenyataan bahwa sebagian dari proses pembelajaran yang dijalankan di program-program studinya dilaksanakan oleh pihak lain? Siapkah para dosen untuk lebih sering berkomunikasi secara online karena mahasiswanya berada di tempat yang terpisah?

Meminjam istilahnya Thomas Friedman, sepertinya saat ini proses flattening sedang melanda dunia pendidikan. Tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya kelak, tetapi sebaiknya kita mulai menyiapkan diri.


20 December 2008

Korea vs Indonesia

Beberapa waktu y.l. saya berkesempatan berkunjung ke Korsel, tepatnya di Seoul, untuk melihat perkembangan industri TI di negara tersebut dan rencana mereka kedepan. Memang sungguh menakjubkan kemajuan yang telah dibuat. Saya dibawa ke sebuah gallery yang berisi berbagai demo yang menggambarkan impian tatanan masyarakat Korea pada masa depan, yang sarat dengan implementasi TI. Konsep "always on, always connected" betul-betul terasa, menciptakan tatanan yang mereka sebut dengan ubiquituous society (u-society). Banyak sekali layanan berbasis TI yang bisa diakses di manapun, kapanpun, dengan berbagai moda, terutama piranti mobile. Video call, video conference, bahkan siaran TV digitalpun sudah bisa dilakukan melalui smartphone atau PDA.

Semua itu bisa terjadi karena infrastruktur TI di Korea sudah siap. Korea termasuk negara dengan tingkat penetrasi TI tertinggi di dunia, karena didukung oleh industri perangkat keras yang sangat maju. Korea merajai dunia di bidang LCD monitor, perangkat handset mobile, dan chip memori. Kondisi geografis negara itu juga memungkinkan penggelaran backbone Internet berkecepatan tinggi secara mudah. Hasilnya, komunikasi berbasis multimedia bisa dilakukan dengan lancar oleh segenap elemen masyarakat. Di sisi lain, pendapatan per kapita mereka juga cukup tinggi untuk mendukung daya beli terhadap produk dan layanan TI. Secara sosiokultural masyarakat Korsel tidak asing lagi dengan nuansa high-tech TI dalam kesehariannya, sehingga pada saat mereka meluncurkan berbagai layanan berbasis multimedia, semua komponen pendukungnya sudah siap: baik infrastruktur jaringan, perangkat akses, ketersediaan dan kualitas koneksi, sampai ke daya beli dan kultur masyarakatnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Bisakah kita menuju ke state yang sama dengan Korea? Jujur saja, kita tidak tahu. Mungkin bisa, mungkin juga tidak, tetapi bahwa untuk mencapai status negara yang maju di bidang TI, jelas ini sangat dimungkinkan. Korea mencapai kondisinya saat ini berangkat dari aspek industri perangkat keras yang maju. Jadi polanya, perangkat keras dan infrastruktur menjadi strategic driver untuk menuju kemajuan negara dan masyarakat. Indonesia jelas tidak punya strategic driver berupa infrastruktur atau industri perangkat keras, tetapi kita bisa menggali alternatif lain yang bisa kita kembangkan.

Salah satu kemungkinan adalah creative contents. Kita tidak berangkat dari infrastruktur, tetapi dari contents yang dibuat, dikelola, dijalankan, dan didistribusikan di atas infrastruktur tersebut. Infrastruktur dianggap faktor yang taken for granted. Tinggal sediakan uang saja, lalu beli dan deploy. Selanjutnya usaha bisa difokuskan ke level software, aplikasi, layanan, dan informasi dalam berbagai bentuknya (musik, video, animasi, game, komik, dan berbagai representasi budaya digital lainnya). Animator dari Indonesia sudah terbukti kemampuannya, demikian pula gamers kita). Mengapa kita tidak dorong potensi di bidang ini? Nampaknya di masa depan fokus TI akan lebih berada pada aplikasi, layanan, dan contents. Penguatan di bidang ini (termasuk pengembangan industrinya) bisa menjadi awal proses bootstrap bagi penguatan di bidang infrastruktur dan pematangan masyarakat menuju ke e-society.

Seberapa besar peluang kita dalam bidang contents? Menurut saya cukup besar. Contents adalah produk intelektual. Modal dasarnya adalah kreativitas. Tidak perlu biaya besar untuk membuat contents yang menarik, bermutu, dan bermanfaat. Untuk pengembangan industri misalnya, barrier to entry-nya tidak tinggi. Produk-produk animasi Indonesia ternyata muncul dari perusahaan-perusahaan kecil. Hanya diperlukan manusia-manusia kreatif, pengetahuan tentang kebutuhan pasar, dan channels untuk mengakses para pembeli, terutama di lingkup internasional. Kita tidak khawatir dengan faktor pertama, banyak stok yang kita miliki. Untuk faktor kedua dan ketiga, rasanya juga tidak sulit. Pemerintah bisa memfasilitasi kebutuhan ini. Permasalahannya adalah, siapkah pemerintah kita?

12 August 2008

BSE dan penyebarannya

Berita di Kompas tanggal 21 Juli 2008 menyebutkan bahwa program Buku Sekolah Elektronis (BSE) masih mengalami kendala dalam pemanfaatannya. Program ini sebenarnya bertujuan mulia: membantu masyarakat dalam mengakses buku pelajaran secara murah dengan cara pemerintah membeli hak cipta dan mengambil alih biaya penulisan dan penerbitan buku. Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, kemudian memformat buku pelajaran dalam bentuk digital, kemudian memasangnya di beberapa server sehingga masyarakat dapat mengunduhnya secara cuma-cuma. Depdiknas berharap usaha digitalisasi ini bisa membantu distribusi buku secara luas, tetapi seperti diberitakan, ada kendala-kendala operasional yang menghadang.
Keluhan yang muncul pada umumnya mempertanyakan efektivitas mekanisme distribusi buku secara on-line. Mayoritas sasaran, yaitu para siswa, kebanyakan tidak mampu mengakses buku digital tersebut karena tidak tersedianya koneksi Internet yang cukup dan terjangkau biayanya. Persoalan dasarnya sebenarnya terletak pada pendekatan distribusi yang digunakan Depdiknas. Program BSE adalah program yang bersifat open content. Ada kebebasan yang kuat dalam mengakses, menggunakan, mencetak, bahkan menjualnya. Kebebasan ini harus ditawarkan kepada masyarakat agar mereka mampu menarik manfaat darinya. Untuk itu diperlukan penetrasi yang kuat agar buku-buku tersebut dikenal di masyarakat. Barrier-to-entry harus diturunkan, dan itu berarti harus menggunakan mekanisme distribusi yang berbiaya rendah (low cost). Karena biaya reproduksi materi digital bisa dianggap nol, maka efektivitas distribusi sangat ditentukan oleh media atau salurannya.
Barangkali apa yang dilakukan oleh komunitas Open Source dalam mendistribusikan perangkat lunak-perangkat lunak bebasnya dapat ditiru oleh Depdiknas. Selain secara on-line (yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia masih dianggap mahal), distribusi dilakukan juga secara off-line. CD-ROM adalah salah satu media yang efektif. Harga sekeping CD-ROM cukup terjangkau bahkan oleh kelompok masyarakat di daerah. Sekarang ini, CD-ROM berisi sistem operasi Linux dan program-program lainnya dapat dijumpai bahkan sampai ke daerah-daerah.
Jadi yang perlu dilakukan oleh Depdiknas adalah membuka saluran distribusi lain. Buku-buku digital tersebut bisa dikemas dalam satu CD-ROM, lalu digandakan, dan dikirimkan ke tiap sekolah di seluruh Indonesia. Sesampai di sekolah, biarkan mekanisme alamiah yang bekerja. Misalnya, sekolah bisa mencetak beberapa eksemplar lalu meminta murid-murid untuk memfotokopinya. Atau bisa saja murid-murid menyalin isi CD ke komputer mereka masing-masing.
Saluran distribusi lain misalnya melalui pihak ketiga seperti warnet, toko-toko CD, komunitas-komunitas penggiat TI, dan sebagainya. Dengan pendekatan yang baik, rasanya mereka tidak akan keberatan dimintai bantuannya menyebarkan buku-buku digital ini dengan berbagai cara.
Di sisi lain, Depdiknas juga perlu mengakselerasi produksi buku-buku digitalnya. Judul-judul perlu diperbanyak dan kualitas buku juga perlu dijaga. Ini semua merupakan insentif bagi masyarakat sebagai pemakai. Mereka akan mengapresiasi jika Depdiknas bisa menyediakan buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan mereka, dan dengan demikian dengan senang hati akan ikut serta dalam usaha distribusinya.
Intinya, inisiatif open content memerlukan keterlibatan masyarakat luas, dan partisipasi masyarakat dapat dibangun jika mereka melihat adanya insentif dalam program tersebut, serta mampu mengaksesnya. Sekali rantai ini terbangun, distribusi akan bisa dilakukan dengan biaya yang minimal.
“Rantai” ini sebenarnya bisa dikembangkan mengikuti hukum ekonomi jaringan. Artinya ada penciptaan nilai-nilai baru mengikuti aliran dalam rantai tersebut. Depdiknas bisa saja membuka kesempatan bagi masyarakat untuk ikut menyempurnakan kualitas dari buku-buku digital tersebut (konsepnya mirip dengan Wikipedia). Atau Depdiknas mengijinkan pihak lain melengkapi buku-buku tersebut dengan suplemen-suplemen pendukung (alat peraga, koleksi soal, dan sebagainya). Dengan pendekatan ini, nilai buku-buku tersebut senantiasa semakin meningkat dari waktu ke waktu, tanpa ada usaha yang besar di pihak Depdiknas. Di sisi lain, sekolah dan siswa-siswa pasti akan berterima kasih karena bisa mendapatkan materi belajar yang berkualitas secara murah dan mudah.

18 June 2008

Pilih Mana: Sistem yang Rigid atau Manusiawi ?

Sekali lagi saya berkesempatan untuk mengunjungi Eropa, tepatnya ke Inggris. Seperti di negara-negara maju lainnya, Inggris memiliki berbagai sistem yang teratur dan rigid, segala sesuatunya berdasarkan standard operating procedure (SOP). Dari mulai transportasi, pelayanan kesehatan, kehidupan di kampus -- ini adalah yang sempat saya temui. Semua petugas bekerja sesuai bagiannya, dan pemakai/pengguna jasapun tahu hak dan kewajibannya. Tidak heran kalau di Student Service Center University of Manchester, semacam Bagian Kemahasiswaan di universitas di Indonesia, hanya diawaki oleh tidak lebih dari 5 orang.

Jadi sekali lagi kuncinya adalah aturan (termasuk SOP) yang jelas dan ditegakkan, SDM yang kapabel, kesadaran yang tinggi dari konsumen, plus dukungan sistem TI yang memadai. Tapi pertanyaannya, apakah ini adalah sistem yang ideal ? Mungkin jawaban kita adalah, "ya, tentu saja". Tapi tunggu dulu ... Saya juga mendapatkan kesan bahwa sistem yang serba teratur itu sangat mekanistis. Tidak ada sentuhan manusiawi sedikitpun. Saya berikan dua contoh. Yang pertama pengalaman nyata yang saya alami sendiri. Pada saat menunggu bis kota, saya sudah di halte yang ditentukan, hanya saja saya berdiri di luar titik/spot untuk masuk ke bis (mungkin sekitar 3-4 meter dari titik itu). Apa yang terjadi ? Sopir bis menolak saya masuk, dan memberi isyarat agar saya pindah ke titik itu. Apa sih susahnya membukakan pintu saat itu, padahal saat itu toh saya hanya satu-satunya calon penumpang bis tadi... Contoh kedua diceritakan adik saya. Katanya, jika kita sakit gigi atau sakit apapun yang sebenarnya tidak terlalu serius tapi memerlukan perhatian dokter dengan segera, itu akan menjadi siksaan. Pasalnya, semua rumah sakit dan dokter selalu meminta perjanjian dulu untuk ditemui. Kalau benar-benar memerlukan pertolongan, datanglah ke ICU. Bayangkan, mau periksa gigi harus ke ICU rumah sakit ??? Kata adik saya, ada temannya orang Jepang yang tidak tahan dengan kondisi itu. Saat frustasi dengan sakit giginya, dia memutuskan untuk pulang ke Jepang, mencabut giginya di sana, dan balik lagi ke Inggris...

Jika memperhatikan contoh-contoh di atas, nampaknya di Indonesia lebih menyenangkan. Bukan karena sistemnya yang masih amburadul, tapi kita masih bisa menikmati sentuhan-sentuhan manusiawi dalam sistem tersebut. Itu yang membuat kita merasa hangat berada di Indonesia. Nah, sekarang tantangannya, mampukah kita, orang Indonesia, untuk mengawinkan kedua faktor ini ? Bisakah kita membuat sebuah sistem yang jelas dan tegak, tapi masih memiliki ruang-ruang untuk mengekspresikan unsur-unsur manusiawi ?

Saya pikir kuncinya kembali pada SDM. Masalah aturan, SOP, dsb itu mudah. Yang sulit adalah mencetak SDM yang pintar (termasuk dalam membuat sistem-sistem berbasis TI). Dan yang paling sulit adalah membuat SDM yang pintar itu juga memiliki konsistensi dan integritas moral yang tinggi, tanpa kehilangan kehangatannya sebagai ciri orang Indonesia.

Mampukah kita ? Bisakah sistem pendidikan kita memenuhi kebutuhan itu ? Jika kita bisa, saya yakin pelayanan publik kita akan mengungguli semua negara maju tersebut.

11 February 2008

Spam yang Inovatif

Beberapa hari yang lalu saya mengalami gangguan spam yang inovatif. Sebenarnya bukan saya langsung yang diganggu, melainkan salah seorang mahasiswa saya yang kebetulan juga pernah menjadi staf di perusahaan yang saya pimpin. Sebut saja dia ini si X. Saya mendapatkan email spam dari seseorang, sebut saja Carlos, yang kalau dilihat dari alamat emailnya berasal dari Italia. Email ini menyebutkan bahwa saya harus memberitahu X untuk menghubungi Carlos karena urusan fraud yang telah dia lakukan. Email tsb bahkan mengatakan apa yang telah dilakukan X juga bisa menyeret perusahaan saya ke ranah hukum.

Saya sebenarnya tidak mempedulikan email tersebut, tetapi kemudian menjadi tertarik setelah X menghubungi saya dengan nada khawatir. Ternyata dia juga mendapatkan email dari Carlos, dan yang membuatnya khawatir adalah si Carlos tidak hanya mengirimkan email, tetapi juga menelponnya. Ya, si spammer Italia itu sampai menelpon si X. Katanya, X dituduh telah membobol account bank-nya dan menguras isinya. Tentu saja X menolak dan mengatakan tidak tahu apa-apa, tapi Carlos tetap berkeras.

Saya katakan ke X agar jangan khawatir karena itu adalah usaha spammers (lebih tepatnya adalah pemeras), karena dari isi email, gaya bahasa, dan asal account email kelihatan bahwa itu semua mengarah pada tindakan spam/pemerasan. Tidak ada nama lengkap, identitas diri atau perusahaan, kronologi peristiwa, dan informasi lain yang menunjukkan keseriusan dan kebenaran isi email tersebut. Email ke saya bahkan dikirimkan ke account Yahoo saya, bukan ke alamat email resmi perusahaan

Dari mana Carlos tahu bahwa saya punya hubungan atasan-bawahan dengan X ? Ternyata dari CV si X yang kebetulan kelihatan di Internet. Di CV tsb nama saya tertulis sebagai pemberi rekomendasi X, lengkap dengan alamat Yahoo dan no telpon HP saya... Pantesan saja ...

Yang membuat saya tertarik adalah betapa kerasnya usaha Carlos untuk menerkam mangsanya, sampai-sampai dia menelpon X. Bahkan dia juga berusaha menelpon saya, tetapi karena saya sudah diberitahu X, maka panggilan telpon dia tidak saya angkat. Dia tidak hanya sekedar mengirim email, tetapi juga menelpon untuk memperkuat aksinya tersebut. Kemudian juga, spam dia juga melibatkan intervensi manual dan sedikit riset (mencari hubungan antara saya dan si X jelas memerlukan keterlibatan orang, bukan sekedar mesin otomatis). Modusnyapun baru, si spammer mencoba menakut-nakuti mangsanya dengan menggiringnya ke ranah kriminal. Kalau mangsanya tidak tahu dan takut, mudah baginya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Kesimpulannya, ini kejadian baru bagi saya, dan pelajaran berharga yang patut kita petik adalah, banyak orang jahat diluar sana yang semakin canggih. Kita harus semakin hati-hati dalam memanfaatkan Internet, dan jangan mudah memamerkan informasi sensitif tentang diri kita di Internet.

Sungguh inovatif...tetapi inovasi yang merugikan orang lain...

08 February 2008

Emotional experience dalam Web

Dalam liburan panjang kali ini (meskipun akhirnya dibatalkan pemerintah), saya berkesempatan melakukan hal-hal yang mustahil saya lakukan kalau tidak libur: menonton acara-acara variety show di TV. Macam-macam yang saya tonton, dari kuis sampai idol-idol-an, tapi semuanya mengusung satu hal yang sama: mereka mengeksploitasi pengalaman emosional (emotional experience) dari pemirsa. Eksploitasi inilah yang pada akhirnya membuat penonton dengan sukarela mengirimkan ribuan sms dukungan, yang pada akhirnya situasi ini dibidik secara jeli untuk dibisniskan.

Well, saya tidak berpikir tentang aspek bisnisnya, tapi tentang kemungkinan mengeksploitasi pengalaman emosional dalam dunia virtual, melalui Web. Menurut pengamatan saya, TV-TV tersebut sukses karena beberapa hal: 1) teknologi komunikasi yang sudah maju dan murah, 2) klasifikasi kontestan menuruti sentimen pemirsa (misalnya, kriteria asal daerah, profesi, jenis kelamin, dsb), 3) ajakan bagi pemirsa untuk terlibat dalam jalannya acara, yang sebenarnya adalah proses rekayasa untuk mematangkan dan akhirnya meledakkan emosi pemirsa, dan 4) kemasan acara itu sendiri, yang merupakan wadah bagi pemirsa untuk menyalurkan emosinya (melalui sms atau telepon).

TV sudah membuktikan keberhasilannya sebagai media untuk eksploitasi pengalaman emosional pemirsanya. Bagaimana dengan Web ?

Faktor pertama menurut saya sudah terpenuhi, meskipun untuk Indonesia jelas jangkauannya belum seluas televisi. Jadi economy of scale-nya masih perlu diuji. Faktor kedua juga bisa dijalankan di Web. Ini tidak ada kaitannya dengan media, tapi tergantung kreativitas show designer-nya. Semakin tajam klasifikasinya (artinya, semakin ia mampu menarik keberpihakan pemirsa), semakin besar peluang untuk membangkitkan emosi pemirsa.

Faktor ketiga juga sama, bahkan Web punya peluang yang lebih besar dibandingkan TV karena interaksi pemakainya yang lebih kaya. Web memungkinkan terjadinya interaksi yang bersifat massal, dan pada saat yang sama melakukan personalisasi untuk setiap sesi interaksi. Contoh yang jelas adalah Amazon: bagaimana Amazon bisa berjualan dengan volume yang sangat masif, tetapi masih bisa memberikan layanan personal bagi tiap pelanggannya. Saya pikir Web menyediakan banyak kesempatan dan peluang untuk mengkesplorasi kekayaan interaksi ini.

Yang terakhir, faktor keempat juga memungkinkan dijalankan di Web. Sekarang ini bertaburan layanan-layanan Web yang bisa dianalogikan sebagai acara TV. Layanan-layanan ini punya tema/fokus spesifik, menjaring sebanyak mungkin pemakai, memfasilitasi interaksi antar pemakai, dan memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai baru dari interaksi tersebut. Orang sering menyebutnya sebagai social networking. Contohnya, layanan LinkedIn, Friendster, Facebook, layanan-layanan dating online, dsb.

Jadi, kalau mau membuat semacam American Idol di Web, tantangan yang harus dihadapi adalah mencari topik yang menarik, merancang pola-pola klasifikasi untuk menarik sentimen pengguna, merancang model interaksi bagi pengguna, dan mewadahi itu semua dalam sebuah kemasan layanan yang menarik. Mungkin yang belum bisa populer di Indonesia adalah membuat acara live melalui Web. Teknologi webcasting secara real-time memang sudah ada, tapi pemanfaatannya masih akan terkendala di Indonesia, karena keterbatasan bandwidth. Padahal sense dan thrill dari acara live itulah yang sering diandalkan untuk membangkitkan emosi pemirsa.

Web 2.0 telah datang, mindset para pemakai sudah siap. Tinggal membuat wadahnya saja. Tantangan bagi orang-orang yang memiliki kreativitas...

04 February 2008

Bandara Soekarno-Hatta Lumpuh

Ya, Bandara Soekarno-Hatta (BSH) sempat ditutup 6 jam pada tanggal 1 Februari 2008 lalu karena hujan yang begitu deras membuat visibility di runway tinggal 300m, jelas tidak layak untuk landing maupun take-off. Hujan juga membuat jalanan Jakarta tergenang, dan lengkaplah sudah kelumpuhan BSH.

Menariknya, setelah BSH dibukapun ia belum bisa beroperasi normal. Pasalnya jalan-jalan akses ke bandara masih kebanjiran, terutama jalan tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo di km 24-27, yang meskipun tidak hujanpun sering banjir akibat luapan air laut pasang. Akhirnya selama 3 hari berikutnya, berita koran-koran dihiasi dengan hiruk pikuk kepanikan sistem penerbangan di Jakarta.

Yang ingin saya soroti adalah efek berantai yang ditimbulkan dari kegagalan sebuah subsistem. Tampaknya sistem-sistem sekarang ini, apapun itu, sangat terkait satu sama lain. Kelancaran penerbangan di bandara terkait dengan akses/transportasi dari/ke bandara. Sebaliknya problem pada jadwal penerbangan akan mempengaruhi banyak kegiatan lainnya, yang sering kali tidak ada hubungannya dengan penerbangan. Di koran misalnya, diberitakan bagaimana seseorang tidak bisa menghadiri pemakaman orang tuanya gara-gara pesawatnya batal berangkat. Dalam situasi normal, apa hubungannya antara pemakaman dan penerbangan ? Intinya, gangguan pada satu titik akan membawa efek berantai yang luar biasa.

Lepas dari semua problem yang muncul dan kerugian yang diderita, kejadian ini menunjukkan fenomena umum sistem ekonomi dewasa ini. Saling terkait, meskipun masing-masing punya domain sendiri. Keterkaitan ini memaksa kita untuk memandang sebuah sistem secara holistik, tidak bisa parsial. Bahkan jika perlu harus melihat juga eksternalitas dari sistem. BSH mungkin sudah bisa beroperasi normal, tapi jika jalan akses keluar/masuknya masih mampet, pilot, pramugari, ground crew, supply makanan, supply bahan bakar, dsb juga akan terhambat, dan akhirnya sistem penerbanganpun terganggu.

Pelajaran berharga ini patut direnungkan oleh siapapun yang bertanggungjawab memikirkan operasi sebuah sistem, terutama yang terkait dengan manajemen resiko. Selain kemampuan untuk berpikir holistik, diperlukan pula kemampuan untuk berpikir lateral (meluas). Berpikir tidak hanya pada sistem itu sendiri, tapi juga hal-hal lain yang langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kelancaran operasi sistem. Dalam mengelola bisnis, memimpin kantor, memulai usaha, memimpin pelaksanaan proyek, menjalankan misi dalam perang, menempuh studi, dan banyak lagi, situasi di atas bisa saja muncul di hadapan kita. Siapkah kita menghadapinya ?

Kemampuan berpikir lateral memungkinkan kita memandang dengan perspektif helicopter view. Pandangan dari atas memungkinkan kita melihat sesuatu secara utuh, tidak hanya komponen-komponen sistemnya tapi juga keterkaitan antar komponen. Jika kita ingin masuk lebih dalam, kita bisa lakukan zooming-in tanpa kehilangan konteks utuhnya.

Saya rasa berpikir lateral adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini sudah diisyaratkan Tuhan kepada pemimpin-pemimpin bangsa ini. Banyak sudah contoh yang diberikan Tuhan agar kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu dalam memandang sesuatu. Persoalannya, bangsa ini mudah lupa, atau bahkan mungkin ndableg...

12 January 2008

Wikinomics di Perguruan Tinggi

Dalam perjalanan ke Medan minggu lalu saya membeli buku Wikinomics karangan Don Tapscott dan Anthony Williams. Buku ini menjelaskan tentang munculnya tatanan ekonomi baru yang sangat diwarnai oleh partisipasi dan kolaborasi. Sangat menginspirasi, mirip dengan bukunya Thomas Friedman, The World is Flat.

Tapscott dan Williams menjelaskan bahwa saat ini adalah eranya partisipasi dan kolaborasi, bahkan dalam dunia bisnis. Tidak ada satupun perusahaan di dunia ini yang mampu memberikan excellence tanpa dukungan dari pihak-pihak lain. Terbentuk sebuah jaringan nilai (networks of values) yang sangat kompleks yang dicirikan dengan keterbukaan, peering, saling berbagi (sharing), dan tindakan-tindakan global (acting globally). Dalam jaringan-jaringan ini terjadi aliran-aliran informasi yang secara sinergis meningkatkan nilai dari apa yang hendak dibangun. Gerakan Open Source, Wikipedia, MySpace, dan Flickr adalah contoh-contoh dari model baru tentang kolaborasi global yang membentuk wajah dunia saat ini melalui produk-produk fenomenalnya. Tapscott dan Williams menyebut model baru ini sebagai Wikinomics.

Prinsip dasar Wikinomics adalah kualitas resource yang tersedia di luar lingkup organisasi kita selalu lebih baik daripada yang tersedia secara internal, sehingga wajarlah jika muncul pemikiran untuk memanfaatkan resource eksternal tersebut untuk mendukung proses-proses internal. Apalagi teknologi informasi (TI) memungkinkan kita untuk merealisasikan pemikiran tersebut. Ditambah lagi dengan semangat sharing dan kolaborasi yang sekarang tumbuh, kuncinya hanyalah pada bagaimana "menarik" resources eksternal tadi untuk mau masuk. Kasus Goldcorp Challenge pada tahun 2000 menjadi contoh yang menarik: bagaimana perusahaan pertambangan Goldcorp mau membuka data-data eksplorasi mereka kepada umum untuk menarik minat pihak-pihak lain untuk ikut menemukan ladang tambang baru. Data-data pertambangan yang biasanya sangat dijaga kerahasiaannya justru dibuka kepada publik untuk dimanfaatkan guna mendapatkan nilai yang jauh lebih besar. Hasilnya ? Hanya dalam hitungan minggu, banyak sekali proposal yang masuk. Hadiah total sejumlah US$ 575000 bagi pemenang kontes menjadi tidak ada artinya dengan hasil yang diperoleh. Hari ini, perusahaan yang semula nilainya hanya sekitar US$ 100 juta berubah menjadi perusahaan yang bernilai US$ 9 miliar.

Ide yang radikal tapi penuh perhitungan pada akhirnya membuahkan hasil yang manis.

Mungkinkah kira-kira Wikinomics diterapkan di dunia pendidikan, khususnya untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan tinggi ? Menyediakan layanan pendidikan tinggi yang berkualitas memang sejak lama menjadi masalah bagi banyak institusi pendidikan di Indonesia. Ketidakmampuan menyediakan kurikulum, materi pembelajaran, dan dosen yang bermutu membuat output perguruan tinggi kita masih belum bisa berkompetisi di tingkat yang lebih tinggi. Pertanyaannya, dapatkan prinsip-prinsip Wikinomics dipakai untuk memecahkan persoalan ini ? Asumsi yang dipakai sama: resource eksternal lebih baik dan lebih tersedia daripada resource internal. Artinya, kurikulum, materi kuliah, dan bahkan dosen bisa saja berasal dari luar. Kurikulum dibuat dengan semangat kolaboratif (mirip dengan Wikipedia). Materi kuliah bisa saja dibuat oleh dosen dari perguruan tinggi lain, atau mengambil yang sudah jadi (seperti yang disediakan oleh MIT Open Courseware). Sebuah mata kuliah bisa saja diasuh oleh banyak dosen, menggunakan model plug-and-play: siapapun (yang memenuhi syarat tentunya) bisa mengajar 1-2 topik spesifik dimana dia memang ahlinya, dan penugasannya tidak tetap (tidak tiap semester harus mengajar sesi yang sama).

Kalau dipikir-pikir, mestinya bisa saja kita melakukan itu. Mengapa memaksakan untuk menyediakan semuanya oleh diri sendiri, sementara kita tahu di luar sana banyak resource yang bisa dimanfaatkan. Tentu saja realisasinya tidak sesederhana itu. Banyak hambatan yang harus dihadapi, seperti misalnya:
  1. Paradigma akreditasi Dikti yang sangat berorientasi pada self-sufficiency (yang dinilai adalah kapasitas sistem internal saja, sama sekali tidak memperhitungkan kapasitas network-building),
  2. Penjaminan mutu: bagaimana menjamin agar proses pembelajaran yang melibatkan banyak pihak yang tidak terikat (loosely-affiliated) bisa menghasilkan kompetensi yang ditetapkan ?
  3. Proses eksekusinya: implementasi model Wikinomics memerlukan sistem workflow yang handal. Desain sistem mulai dari kurikulum, materi, proses perkuliahan, dan evaluasi harus mengalir secara runtut dan logis, karena proses inilah yang menentukan seberapa tinggi nilai (value) yang bisa dihasilkan.
  4. ... dan yang tidak kalah penting, bagaimana menarik resource eksternal untuk berpartisipasi dalam model ini. Saya membayangkan permasalahan terbesar ada di sini. Paradigma konvensional tentang konsep penyelenggaraan layanan pendidikan tinggi akan menjadi penghalang utama, disamping cara berpikir sebagian besar masyarakat (akademik) kita yang masih terikat dengan keuntungan/manfaat langsung (direct benefits): manfaat apa yang bisa diperoleh jika saya berkontribusi dalam gerakan ini ?
Intinya, perlu kemampuan berpikir out-of-the-box, keberanian untuk mencoba hal-hal baru, dan konsisten dalam tindakan. Dunia di luar sana sudah memulainya, kapan giliran kita ? Tidak akan ada perubahan tanpa keberanian untuk mencoba :)

03 January 2008

Tools e-learning: tidak hanya infrastruktur saja

Kalau berbicara tentang penggunaan TI sebagai tool dalam e-learning, hampir semua pendapat terarah pada tools learning management systems (LMS) seperti WebCT, Blackboard, dan tentu saja Moodle yang bersifat free dan open source. Lihat saja program-program yang berorientasi pada implementasi e-learning. Pasti yang dilakukan adalah pengembangan LMS, disamping pengembangan materi ajarnya. Pertanyaannya: apakah tools seperti itu cukup memberikan dukungan untuk melaksanakan e-learning ? Jawabnya tergantung pada seberapa jauh kita memaknai e-learning.

Jika kita menganggap e-learning sesederhana penggunaan LMS sebagai repository materi ajar serta sarana berkomunikasi yang sangat sederhana (biasanya berupa forum diskusi on-line), tentu saja solusi LMS+materi ajar sudah bisa disebut sebagai e-learning. Tetapi kalau e-learning kita maknai sebagai metode berbasis TI untuk meningkatkan kinerja (human performance) melalui proses pembelajaran, tentu saja permasalahannya tidak sesederhana itu. Dalam pandangan ini, yang ditekankan adalah pada output pembelajarannya: seberapa banyak pengetahuan (knowledge) bisa diserap dan dikuasai oleh pembelajar. Akusisi pengetahuan bisa dilakukan dengan banyak cara, misalnya dengan cara transfer (dari dosen ke mahasiswa) atau eksplorasi mandiri ke berbagai resource pembelajaran yang ada. Disinilah TI bisa berperan banyak. TI bisa dimanfaatkan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan pembelajar: membaca, menyimak, memperhatikan, mengeksplorasi, meneliti, berdiskusi, berkonsultasi, dan sebagainya. Bagaimana TI bisa membuat kegiatan-kegiatan belajar tersebut bisa lebih berkualitas, inilah yang harusnya menjadi perhatian tools untuk e-learning. Sayangnya belum banyak perhatian ke arah ini.

Contoh sederhana: dengan adanya Internet, seorang mahasiswa bisa terekspose pada banyak sekali materi ajar. Banyak e-book, artikel, slide-slide presentasi, dan diktat-diktat on-line yang bisa diaksesnya. Dengan ragam yang semakin banyak dan bervariasi, sulit bagi mahasiswa tersebut untuk mengorganisir, mengklasifikasikan, dan menata materi-materi tersebut sehingga memudahkan proses eksplorasinya. Jika ada tool semacam knowledge organizer, tugas-tugasnya akan dapat dipermudah.

Jadi tools e-learning sebenarnya banyak ragamnya: apapun itu selama ia bisa memberikan dukungan bagi kegiatan-kegiatan belajar. Tool semacam ini tidak harus rumit dan kompleks. Aplikasi kecil yang berfungsi memonitor kemajuan belajarpun (study tracker) termasuk tool e-learning. Atau aplikasi pengindeks resource pembelajaran yang memudahkan mahasiswa mencari resource yang tepat untuk topik-topik tertentu.

Dengan sudut pandang yang lebih luas terhadap e-learning, implementasinya juga semakin terjangkau. Tools LMS+materi ajar adalah infrastruktur untuk e-learning. Implementasinya memerlukan resource yang cukup besar (misalnya, jaringan backbone kampus dan server yang cukup besar). Perlu juga usaha yang besar, karena agar bisa mencapai economy of scale yang layak diperlukan partisipasi masif dari dosen dan mahasiswa (LMS tidak akan bermanfaat kalau tidak ada yang mengisi dan menggunakannya). Sebaliknya tools yang handy untuk kegiatan belajar keseharian tidak memerlukan resource yang besar, dan usahanyapun bisa dimulai dari lingkup lokal. Sebagai contoh, aplikasi virtual blackboard yang memungkinkan apa yang ditulis dosen di papan tulis virtual bisa dibroadcast ke komputer-komputer mahasiswa bisa dipakai untuk lingkup kelas kecil. Cukup dimulai dengan kesepakatan antara dosen dan mahasiswa saja.

Sedikit pandangan di atas mungkin bisa dijadikan pertimbangan dalam merancang program-program pengembangan e-learning, khususnya di level perguruan tinggi. Jangan hanya fokus pada tools infrastruktur, tapi juga tools untuk akses ke kegiatan-kegiatan belajar yang sebenarnya.

30 December 2007

Inovasi

Mendengar kata "inovasi", sering kali pikiran kita membayangkan sesuatu yang canggih, belum pernah dibuat orang sebelumnya, dan didasari ide brilian yang radikal. Kemudian jika kita mencoba memikirkan produk-produk inovatif dengan kerangka pikir tersebut, biasanya kita tidak mendapatkan apa-apa. Ataupun jika kita bisa menghasilkan sebuah produk, yang didapatkan adalah keheranan atau ketidakmengertian orang terhadap produk itu, dan pada akhirnya membuat tidak ada seorangpun yang memakainya. Mungkin memang produk kita tadi sangat inovatif, tetapi sayangnya muncul pada situasi yang kurang pas -- an excellent product with a wrong timing.

Menurut saya, faktor penting yang harus ada dalam tiap usaha melahirkan inovasi adalah kemampuan (calon) pengguna dalam memahami inovasi tersebut. Inovasi harus berangkat dari current settings: kesadaran, penerimaan, kultur, tradisi, dan nilai yang ada saat itu. Tanpa akar yang kuat, produk inovasi hanya bisa dibayangkan saja tanpa dimengerti nilai inovasinya. Bahwa inovasi selalu diawali dengan ide brilian, itu benar. Tetapi ide brilian ini perlu disangkutkan dengan kondisi yang ada.

Inovasi tidak selalu harus canggih. Inovasi diukur dari nilai tambah yang dibangkitkannya, dari kemanfaatannya bagi pemakai. Bisa saja nilai tambah dan kemanfaatan ini dicapai melalui sentuhan-sentuhan sederhana, dan kelihatannya kesederhanaan malah menjadi pendorong diterimanya produk-produk inovasi. Sebagai contoh, WWW dianggap sebagai inovasi terbesar abad ini. Tapi saat Tim Berners-Lee membangun jaringan dokumen pertama sebagai cikal bakal Web, yang ia lakukan hanyalah membuat mekanisme yang dapat menghubungkan satu dokumen dengan dokumen lain, dan merancang protokol yang memungkinkan pemakainya menjalani jaringan dokumen yang terbentuk. Sesederhana itu saja. Sangat sederhana sehingga semua peneliti di CERN bisa mengapresiasi temuannya tersebut. Selanjutnya kabar tersiar keluar, dan semua orang saat ini menggunakannya.

Jadi, jika kita ingin berinovasi, lihatlah kondisi sekeliling kita. Baru eksplorasilah cara-cara baru untuk memperbaiki kondisi tersebut. Tiap kali memikirkan cara baru, perkirakan apakah pemakai bisa menerimanya.