Bulan April kemarin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
mengeluarkan Peraturan Mendikbud no 24/2012 tentang penyelenggaraan pendidikan
jarak jauh (PJJ). Permendikbud tersebut intinya mengijinkan penyelenggaraan PJJ
oleh perguruan tinggi di Indonesia dengan beberapa syarat tertentu. Kalau
dahulu PJJ didominasi oleh Universitas Terbuka (UT), sekarang perguruan tinggi yang
penyelenggaraan pendidikannya berbasis kelas (konvensional) juga dipersilakan
untuk menyelenggarakan PJJ. Tujuannya adalah perluasan dan pemerataan akses
bagi masyarakat ke layanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan.
Dalam dunia yang semakin terhubung oleh kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK), Permendikbud tersebut pasti akan ditangkap
sebagai peluang. Bagaimana tidak? Demand akan layanan pendidikan tinggi begitu
besar, sementara kapasitas fisik (kelas, lab, dan fasilitas lainnya) di
berbagai perguruan tinggi relatif tidak bertambah. Penguasaan teknologi, dan
ketersediaan TIK yang cukup memadai akan membuat beberapa perguruan tinggi
berpikir bahwa mereka dapat menawarkan program-program studinya melalui mode
PJJ untuk memperluas pasar.
Kajian yang lebih mendalam terhadap kelayakan
penyelenggaraan PJJ oleh perguruan tinggi konvensional pasti akan sampai pada
satu temuan bahwa PJJ yang bermutu itu tidak mudah dijalankan. Ketidakhadiran
interaksi fisik antara mahasiswa dan dosen harus digantikan dengan mekanisme
lain (misalnya, belajar melalui media online). Persoalannya, baik mahasiswa dan
dosen pada umumnya belum terbiasa dengan karakteristik PJJ, sehingga
efektivitas mekanisme alternatif ini menjadi tidak optimal. Belum lagi jika
membicarakan tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan secara fisik,
misalnya melaksanakan ujian. Siapa yang menyediakan sumber daya untuk keperluan
itu?
Tidak mungkin bagi sebuah perguruan tinggi menangani sendiri
semua hal yang diperlukan dalam penyelenggaraan PJJ, karena akan terlalu berat.
Solusi alamiahnya: kolaborasi antar perguruan tinggi. Dua atau lebih perguruan
tinggi bekerjasama dalam penyelenggaraan PJJ, dan masing-masing mengambil peran
tertentu dalam membangun keutuhan proses pembelajaran. Ada yang memikirkan
kurikulum dan materi ajar, ada yang menyediakan dosen atau tutor, ada yang
menyiapkan fasilitas fisik, dan sebagainya.
Kolaborasi antara beberapa perguruan tinggi dalam
penyelenggaraan sebuah program studi menunjukkan adanya pandangan kontemporer
terhadap pendidikan. Cara pandang konvensional yang menganut paham “semua
ditangani sendiri” (oleh perguruan tinggi penyelenggara) digantikan oleh model work flow yang mengisyaratkan
komponen-komponen penyelenggaraan program studi bisa dipasok oleh pihak-pihak
lain asal memenuhi standar atau kesepakatan tertentu. Fenomena work flow ini sebenarnya bukan hal baru,
dan Thomas Friedman telah menobatkannya pula sebagai salah satu flatteners yang membentuk tatanan dunia
saat ini.
Meskipun model kerja kolaboratif telah diadopsi sejak lama
(contoh sederhana: komponen-komponen komputer kita dari dulu selalu berasal
dari berbagai produsen yang berbeda), kelihatannya dunia pendidikan baru mulai
tergugah belakangan ini. Kolaborasi
selalu memerlukan keterbukaan yang bermuara pada mekanisme saling berbagi (sharing). Di dunia pendidikan, fenomena
saling berbagi baru bergerak secara signifikan akhir-akhir ini. Geliatnya bisa
dibaca sejak Massachussetts Institute of Technology meluncurkan program Open
Courseware (OCW) beberapa tahun yang lalu, yang kemudian diikuti oleh Coursera
(aliansi antara Princeton U., Stanford U., U. of Michigan, dan U. of Pennsylvania)
dan edX (yang diinisiasi oleh Harvard U. dan MIT). Baik OCW, Coursera, dan edX
menawarkan kuliah-kuliah yang bisa diikuti oleh publik secara gratis.
Keterbukaan bagi pihak lain untuk mengakses sumber daya yang
kita miliki adalah cara paling efektif untuk membangun jejaring (network) dengan pihak lain. Jejaring
inilah yang akan menjadi wahana bagi perluasan jangkauan layanan pendidikan.
Dalam tatanan ekonomi berbasis jejaring (network
economy) berlaku prinsip “jumlah yang banyak”, artinya nilai sebuah produk
akan meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah pemakai. Dalam contoh
inisiatif kuliah-kuliah online gratis yang ditawarkan beberapa perguruan tinggi
terkemuka di AS, mungkin arah inilah yang ingin dibidik oleh mereka. Semakin
banyak orang yang mengikuti kuliah gratis itu, semakin meningkat nilai
program-program pendidikan mereka.
Kembali ke kolaborasi antar perguruan tinggi dalam
penyelenggaraan PJJ, jika hal ini terwujud, maka layanan pendidikan akan
dipandang seperti halnya komoditas lainnya yang dapat diproduksi melalui sebuah
work flow tertentu. Proses pembelajaran dipandang sebagai sebuah
konstruksi yang dapat dibangun secara padu-padan (mix-n-match). Komponen-komponen pembangunnya disusun menuruti
suatu kerangka yang dibuat menurut standar atau kesepakatan tertentu, dan dapat
disediakan oleh lebih dari satu provider.
Dalam kasus yang ekstrem, granularitas padu-padan ini bisa sangat halus.
Sebagai contoh, kuliah-kuliah yang ditawarkan dalam sebuah kurikulum dapat ditempuh
di institusi-institusi yang berbeda, dengan dosen yang berbeda, dan lingkungan
pembelajaran yang berbeda pula.
Pendekatan kolaborasi memang efisien dan layak untuk
menghadapi persoalan keterbatasan sumber daya dan menjawab tantangan perluasan
jangkauan, tetapi masih ada beberapa pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Pertanyaan
pertama terkait dengan substansi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang
utuh tidak hanya sekedar transfer ilmu, tetapi membentuk karakter dan membangun
nilai juga. Bisakah ini dilakukan dengan mode PJJ? Pertanyaan kedua terkait
dengan pelaksanaan PJJ itu sendiri. Sudah siapkah semua pihak yang terkait
untuk melaksanakannya? Selain persiapan infrastruktur dan sumber daya, masih
ada keharusan untuk mengubah cara berpikir (mindset).
Siapkah Jurusan, Fakultas, atau Universitas untuk menerima kenyataan bahwa
sebagian dari proses pembelajaran yang dijalankan di program-program studinya
dilaksanakan oleh pihak lain? Siapkah para dosen untuk lebih sering
berkomunikasi secara online karena mahasiswanya berada di tempat yang terpisah?
Meminjam istilahnya Thomas Friedman, sepertinya saat ini
proses flattening sedang melanda
dunia pendidikan. Tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya kelak, tetapi
sebaiknya kita mulai menyiapkan diri.